Friday, August 19, 2011

Ramadhan dan Budaya Konsumtif

Sudah menjadi kebiasaan setiap kali memasuki bulan suci ramadhan dan hari-hari besar keagamaan kebutuhan pokok di pasaran mendadak mengalami kenaikan harga. Sudah dipastikan, menurut hukum ekonomi,  karena ada peningkatan permintaan konsumen. Biasanya yang diburu masyarakat tak jauh dari bahan makanan dan pakaian.

Tak ketinggalan, gema ramadhan juga diikuti oleh stasiun pertelevisian, yang gencar mengiklankan produk-produk yang dibungkus dengan rayuan diskon, big sale, atau daya tarik lainnya, yang mendorong masyarakat konsumtif. Pun demikian, semua pengisi acara televisi, artis, atau sutradara mendadak religi, untuk memenuhi tuntutan pasar sekaligus melihat ladang komuditi dalam bulan ramadhan. Tak peduli bahasa agama pun dipaksakan untuk memoles produk, yang pada akhirnya mampu merasuki alam bawah sadar masyarakat, seolah menjadi keharusan untuk mengkonsumsi barang tertentu di bulan ramadhan. Terlebih mendekati hari raya idul fitri nanti akan banyak pasar tumpah, pasar siang malam, dengan penawaran diskon besar-besaran. Jika kita tidak mampu mengendalikannya akan memjerumuskan kita kepada manusia konsumtif. 
Secara sederhana konsumtif adalah orang yang mengkonsumsi barang-barang yang sifatnya karena tuntutan gengsi semata dan bukan karena kebutuhan. Namun kita terkadang tidak menyadarinya, bahwa budaya konsumtif bisa merusak sendi kehidupan dan cara pandang yang materialistik, yang dikendalikan oleh restorsi kekuatan kapitalis. Kapitalisme sangat memuja konsumsi sebagai mekanisme untuk menggenjot produksi. Ia tak peduli asas manfaat, yang terpenting keuntungan dan monopoli pasar.
Terlebih di era pasar bebas ini para pemilik modal besar mendapat angin segar untuk menancapkan kekuatannya di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Walhasil, dalam waktu sekejap, sudah berjejer bangunan pasar modern seperti mal, supermarket, hypermarket, indomaret dan sebagainya. Tak hanya itu, pemerintah kita turut andil dalam memuluskan misi kapitalisme dengan sedikit demi sedikit telah memprivatisasi perusahaan BUMN, mengurangi subsidi pendidikan dan kesehatan, yang pada akhirnya akan memperlebar jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Prinsip
Keberadaan mall telah mempengaruhi pola hidup masyarakat. Di mall kita dimanjakan dengan kenyamanan belanja, keamanan, kebersihan- walaupun kita tidak punya kebebasan dalam tawar menawar harga-. Yang terjadi kita akan ketagihan, terlebih ada embel-embel diskon. Tampaknya kita semakin, dan akan terus tenggelam dalam budaya konsumtivisme. Para pedagang, sales, promotor, atau pelaku usaha di lapangan yang telah bersusah payah bekerja pun jadi bagian dari korban sistem kapitalis.
Di bulan yang penuh berkah ini mari kita instropeksi diri.  Jika kita melirik pada arti puasa sendiri ialah menahan. Mengendalikan hawa nafsu dan hasrat yang berorientasi kepada perut. Bukan hanya menahan lapar dan haus semata. Rosulullah telah menyindir kita dalam haditsnya, “Banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dalam puasanya kecuali hanya lapar dan haus,”  M.Quraish Shihab dalam buku `Membumikan Al-Qur`an` menyebut, kebutuhan makan, minum dan hubungan seksual merupakan kebutuhan dasar fa`ali. Lebih lanjut, dikatakannya, manusia akan dengan mudah mengendalikan kebutuhan akan pengormatan, kebutuhan pencapaian cita-cita, kebutuhan akan ketentraman bila kebutuhan fa`ali sudah bisa dikendalikan untuk mencapai predikat taqwa serta meneladani sifat-sifat Tuhan (hal 308).
Maka, sejatinya kita juga bisa mengendalikan hasrat belanja, karena dikhawatirkan masuk dalam kategori berlebih-lebihan, atau tidak sesuai dengan kebutuhan kita. Dalam konsumsi pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan Islam mebolehkan namun tidak berlebih-lebihan. Islam sangat membenci orang yang belanja berlebih-lebihan, bisa dikategorikan isyraf dan mubazzir. “Makanlah dan minumlah dan janganlah kamu berlebih-lebihan  Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (Al-Araf: 31).” 
  Untuk memerangi budaya konsumtif memang tidak berhenti pada otoritas keagamaan semata. Karena budaya konsumtif tak lepas dari sistem belenggu kapitalisme. Maka, dibutuhkan peran serta pemerintah, para wakil rakyat dan masyarakat, agar kembali pada jatidirinya sebagai bangsa yang berdaulat, yang menjunjung tinggi kesetaraan sosial, gotong royong, dan kekeluargaan untuk mencapai kemakmuran bersama. Mari kita jadikan ramadhan kali ini sebagai momentum perbaikan diri untuk mencapai kesalehan sosial. Semoga! 

No comments:

Post a Comment

Teriakasih telah berkunjung