Tuesday, December 7, 2010

Pajak Warteg, Penjajahan Gaya Baru

Baru-baru ini rakyat- warga Jakarta khususnya- disontakkan dengan rencana pemerintah DKI jakarta, yang akan memberlakukan pajak bagi pedagang warung tegal (warteg). Besaran pajak yang harus dibayar sekitar 10 persen bagi bagi pemilik warteg yang berpenghasilan Rp60 juta pertahun. Alasan pemprov DKI mengacu pada UU nomor 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Jika pajak warteg diberlakukan, pemilik usaha kecil dan menengah (UKM) itu harus memangkas tabungan pribadinya untuk diberikan pada pemerintah.

  
Padahal-jika mau jujur-, sebagian besar warteg di pinggir-pinggir jalan adalah masyarakat menengah kebawah. Pun penikmatnya berasal dari masyarakat biasa, karyawan, supir angkot. Bisa dibilang, warteg merupakan tempat kumpulnya orang-orang kecil. Jadi, tidak bisa menyamakan warteg dengan restoran, tempat hiburan, kios berjejaring, apalagi mal, yang omsetnya trilyunan.
  
Pemerintah seolah ingin menghilangkan keberadaan warteg, dan menggantinya dengan pengusaha bermodal besar tanpa mempedulikan nasib rakyat kecil, adalah bagian dari bentuk penjajahan terhadap rakyat sendiri-meminjam istilahnya Permadi, politisi gerindra. Padaha selama ini pengelola warteg juga membayar retribusi, uang keamanan, belum lagi jatah preman. Dengan kebijakan baru  pajak tersebut, masyarakat kian terhimpit.

 
  
      
  
    

No comments:

Post a Comment

Teriakasih telah berkunjung