Wednesday, November 24, 2010

Irono Pahlawan Devisa

Derita Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri seolah tak ada hentinya. Belum selesai penderitaan yang dialami  Sumiati binti Salan Mustafa (23 tahun), TKI asal Dompu, Bima, NTB, yang mengalami kekerasan, kini muncul kasus yang menghebohkan dari Cianjur Jawa Barat. Seorang jasad TKI ditemukan di tempat sampah di Abha Arab Saudi. Dari jasad korban yang bernama Kikim Komariah (36 tahun) itu dikabarkan akibat kekerasan benda tumpul.


Perlakuan yang tidak manusiawi yang dialami ke dua pahlawan devisa itu bukanlah yang pertama kali. Jauh sebelumnya, sederet penderitaan yang sama juga dialami TKI kita lainnya. Bahkan kasus  pemerkosaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan  terhadap buruh migran yang tak terdeteksi media lebih banyak lagi.  Namun pemerintah tetap “gagap” dalam menanganinya. Setiap kali terjadi kekerasan akibat ulah majikan di negeri orang itu, pemerintah kita tak punya “taring” untuk menghadapinya. Paling banter, santunan pasca kejadian. Padahal, penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas (migas) itu, (Detik.com, edisi 02/06/2010) butuh perlindungan jangka panjang, selama berada di negeri tujuan.

Jumlah TKI diluar negeri hingga februari 2010-yang dikutip dari situs nakertrans.go.id, (edisi 01/03/2010)- jumlahnya mencapai 2.679.536 orang. Sedangkan pemasukan devisa yang dihasilkan dari remitasi yang dikirimkan TKI sampai akhir tahun 2009 mencapai UU$ 6.615.321.274 milyar. Angka yang cukup fantastis. Jika dirupiahkan angka tersebut endekati 70 trilyun. Namun ironisnya, nasib TKI tidak pernah ada perubahan. Mereka (TKI, red) kian kali menjadi bahan ejekan para “tuan”, layaknya budak yang mengharap belas kasihan. 

Profesi Yang Menggiurkan
fenomena TKI saat ini merupakan keniscayaan, ditengah himpitan ekonomi keluarga dan  sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri. Demikian, melihat keberhasilan para TKI menjadi daya tarik di daerahnya masing-masing. Bagaimana tidak? Dalam waktu singkat mampu membeli segalanya. Belum lagi iming-iming kesuksesan, kenyamanan, kekayaan dan janji-janji manis dari perusahaan jasa penyalur TKI (PJTKI). Sehingga TKI menjadi magnet yang sulit terelakan.

Padahal tak sedikit contoh korban TKI yang mengalami kekerasan. Bahkan media massa elektronik maupun cetak  sudah banyak memberikan informasi-informasi keprihatinan nasib TKI di luar negeri. Namun hal tersebut tak menyudutkan niat bagi sebagian bangsa kita untuk berangkat menjadi buruh  migran. Faktanya setiap tahunnya selalu ada penambahan jumlah TKI. Sekitar 2,5 juta lebih TKI yang berangkat di akhir tahun 2009. Dan Arab Saudi menempati urutan kedua setelah Malaysia yang diminati TKI, dengan jumlah TKI sebanyak 927.500 orang. Sementara di Malaysia 2,2 juta orang. Data tersebut belum termasuk TKI yang tidak resmi (ilegal, red). Ini membuktikan bahwa TKI menjadi profesi yang sangat menggiurkan.
Butuh Kepastian Payung Hukum

Jika arus keberangkatan TKI kita sulit dihentikan, pemerintah, dalam hal ini kementrian tenaga kerja dan transmigrasi (Menakertrans) seyogyanya merumuskan ulang usaha-usaha untuk melindungi para pahlawan devisa. Tidak melulu sibuk setelah kekerasan terjadi. Namun tindakan antisipatif yang harus dikedepankan.
Cukup sudah kasus Sumiati dan Kikim menjadi tamparan keras untuk bangsa kita. Betapa rendahnya harkat dan martabat kita di mata negara orang. Karena jarang sekali para pelaku kekerasannya tersentuh hukum. Bukan saatnya lagi melontarkan kecaman-kecaman melalui lisan. Tak cukup hanya dengan permintaan maaf. Melainkan tindakan kongkrit.

Selain nota kesepahaman (Mou) kedua belah pihak, pemerintah sejatinya lebih memperhatikan pada personal TKI. Paling tidak perhatian itu meliputi beberapa hal. Pertama, Membuat aturan yang jelas di lembaga atau PJTKI maupun BNP2TKI sekaligus menindak tegas penyalur TKI yang tak terdaftar. Pemerintah semestinnya, selain punya data TKI, juga mengantongi data “majikan” dimana TKI bekerja. Sekaligus mendata keluarganya.

Kedua, memfungsikan kembali KBRI (Konsulat Besar Republik Indonesia). Lembaga dibawah duta besar itu harus proaktif mencari informasi keberadaan setiap TKI sekaligus membangun  komunikasi berlanjut, tanpa harus menunggu bola. Seringkali TKI kesulitan bahkan tidak tahu kemana harus mengadu jika terjadi kekerasan.

  Ketiga, membekali calon TKI dengan pengetahuan yang memadai. Mulai dari training kebahasaan, budaya dan keahlian. Jangan sampai menganggap rendah apalagi menyamakan pekerjaan  buruh migran atau  TKI  dengan pekerja  di dalam negeri. Tak sedikit training yang diadakan hanya formalitas. Keempat, butuh kerjasama antara menakertrans , Badan Nasional Pengelola Penyedia Tenaga Kerja Indonesia ( BNP2TKI)dan menteri pemberdayaan perempuan. Karena faktanya TKI didominasi oleh peremuan dan kekerasanpun seringkali menimpa kaum hawa.

Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis tergelitik dengan pernyataan SBY di beberapa media massa. Dalam rapat terbatasnya di kediaman pribadinya PuriCikeas, Presiden menggelontorkan wacana akan memberikan fasilitas alat komunikasi atau Handphone bagi semua TKI. Menurut penulis, wacana tersebut bukanlah solusi dalam menanggapi kasus-kasus kekerasan TKI, bahkan jauh dari akar permasalahan. Sama saja membunuh ular dari buntut (ular).

Saat ini pahlawan devisa butuh payung hukum yang benar-benar melindungi dan memberikan rasa aman serta nyaman saat bekerja di luar sana. Besarnya pendapatan negara dari jasa TKI harus seimbang dengan perlindungan yang maksimal. TKI bukanlah the other, ia adalah bagian dari bangsa kita, saudara kita, keluarga kita. Jika ia disakiti, bangsa ini bangun membelanya. Jika kasus demi kasus tak segera ditangani dengan serius, selama itu pula kisah pilu TKI selalu mengemuka.
  

No comments:

Post a Comment

Teriakasih telah berkunjung