Sunday, December 12, 2010

Ketika Manusia Teralienasi Oleh Media

Di zaman globalisasi, kemajuan teknologi semakin tak terbendung. Kerap kali  inovasi terbaru kreativitas manusia tercipta. Namun kebaruan tak pernah lepas dari repetisi-repetisi (pengulangan) dari hal sebelumnya yang terkadang orang melupakan bahkan menabukannya. Benarkah ini merupakan abad pencerahan bagi umat manusia?. 
Aktivitas manusia saat ini tidak bisa lari dari kenyataan serba elektronik. Mungkin bisa dibilang masa “manusia elektronika” karena sehari-harinya mesin elektronik menjadi bagian kehidupan manusia. misalnya Televisi (TV), Handphone (Hp), Komputer, Vidio Game, Internet Automatic Teller Machine (ATM)  dan lain sebagainya.  Ini hanya sebagian kecil dari seabrek kemajuan teknologi yang tidak bisa dinafikan keberadaannya.
Layar menjadi ruang dimana pengetahuan  dikemas menjadi informasi semenarik mungkin, melalui citra elektronik. sehingga mampu mempengaruhi kesadaran eksistensi manusia. Kesadaran yang sebelumnya dibangun diatas fondasi pengalaman langsung hidup bersama manuisia  dan lingkungan alam, menjadi pengalaman yang dimediasi oleh media atau layar.
Tentu media tidak hadir dengan sendirinya. Namun sarat dengan pesan-pesan di dalamnya. Seperti media televisi, selama ini kita hanya melihat sesuatu yang tampil di layar saja (gambar, cerita, narasi dan informasi). Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Multiplisitas dan Diferensi, Redefinisi desain, Teknologi dan Humanitas telah membeberkan fakta-fakta media elektronik. Bahwa media mempunyai pesan terselubung yang dapat mengancam keberlagsungan kehidupan manusia. namun pesan tersebut sulit untuk ditolak karena sudah mendarah daging dalam diri manusia.
Sejalan dengan Yasraf Amar Pialing, Marshall McLuhan menyatakan bahwa Medium is message. Media penuh dengan pesa-pesan. Media juga bagaikan dua mata pisau. Satu sisi dapat memberikan manfaat di tengah kompetisi global.
 Sebaliknya di lain sisi dapat memberikan efek yang tidak bagus bagi si penerima pesan atau penikmat media. Karena penikmat media hanya dijadikan sapi perah oleh kapitalis untuk meraup keuntungan. Maka media, terutama media visual hanya mementingkan rating. Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia, Uni Lubis menyatakan bahwa 90 persen dari tayangan televisi memiliki pertimbangan bisnis (Koran Tempo, edisi 3 April 2009)
Saat ini industri pertelevisian tidak mempedulikan nilai moral ketika menentukan program acara yang akan ditayangkan. Media televisi hanya mementingkan bisnis an sich, tanpa peduli efek yang terjadi dalam masyarakat pasca programnya ditonton. Padahal Televisi dan media visual lainnya sangat besar pengaruhnya ketimbang media cetak. Tak lain karena hampir semua masyarakat kita dapat mengakses televisi. Sedangkan media cetak hanya menjadi teman bacaan di perkotaan.
Iklan produk yang misalnya, yang ditampilkan di tampilkan di media telah merenggut kesadaran manusia seolah terjadi secara alami alias tanpa rekayasa. Tetkala manusia terperangkap ke dalamnya sulit untuk keluar darinya, karena sudah menjadi candu. Kini manusia elah kehilangan kemanusiaanya.
Karena layar elektronik dibangun atas dasar kalim kebenaran. Kebenaran yang diklaim pasti hadir di masa depan. Pun  kebenaran tersebut merupakan andaian di masa kini. Maka, yang terlihat menjadi sebuah harapan manusia. Karena kemampuan layar elektronik yang menghadirkan sesuatu yang imateri dan mampu memprediksi sesuatu yang belum terjadi. Imajinasi manusia untuk menangkap sesuatu yang tak dapat disentuh namun mampu dirasakan melalui jalan spiritual, kini sudah terwakili oleh elektronik-digital. Kesadaran manusia sudah menyatu dengan media. Manusia telah menjadi bagian dari media, walaupun manusia yang telah menciptakannya. Manusia dapat berubah karena media.
Kini manusia semakin teralienasi dengan media. Kepuasan batin di dunia nyata dapat terpenuhi melalui media. Media mampu menciptakan pembatinan (inwardness). Jika di istilahkan, orang sekarang lebih mengenal lawan bicara yang jauh disana dengan melalui email dari pada teman disampingnya.
Manusia sejatinya menjadi subjek yang terpisah dengan media, kini hidup dalam dunia yang dikelilingi oleh anekan layar, baik vidio, televisi maupun internet. Layar tersebut merepresentasikan dunia, menjadikan dunia terlihat tampak. Padahal karya teknologi tersebut telah memanipulasi cara pandang manusia memahami dunia. Dengan klaim kebenarannya orang menjadi percaya atas semua yang dihadirkan media, tanpa menimbang ulang sisi kemanusiaan semakin terkikis, ancaman degradasi moral di bawah kendali media. Karena media tidak hadir begitu saja, melainkan ada pemeran di balik citra eksotika layar.

Artikel ini sudah dimuat di Harian "Koran Merapi", edisi Mei 2009

No comments:

Post a Comment

Teriakasih telah berkunjung