Saturday, December 18, 2010

Jihad Melawan Koruptor

“Koruptor adalah teroris sejati”. Pernyataan tersebut dilontarkan Hidayat Nurwahid, Januari 2006 lalu, di saat polisi gencar-gencarnya memerangi teroris. Siapapun- termasuk kita- pasti kagum melihat sikap horeoik polisi kita dalam memberantas aksi terorisme. Bagamana tidak, pelaku teror telah meresahkan masyarakat dan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun disaat yang sama, polisi- juga para penegak hukum yang lainnya- justru lembek dalam menangani kasus-kasus korupsi. Hampir semua kasus korupsi tak pernah terselesaikan oleh aparat penegak hukum. Kalaupun bisa ditangkap, hanya akan berhenti pada koruptor kelas coro. Sedangkan koruptor kelas kakap masih bebas berkeliaran, bahkan tak tersentuh hukum. Padahal koruptor telah merusak stabilitas negara. Dampak korupsi lebih berbahaya, merugikan banyak pihak, dan bisa mengancam tatanan negara sampai puluhan tahun.


Sebut saja budaya korupsi di era Orde Baru. Dampak kejahatan terselubung tersebut, masih terasa sampai sekarang. Bangsa ini harus menanggung beban hutang luar negeri yang tidak sedikit, krisis moneter tahun 97 sebagai puncak dari kerakusan pemerintahan suharto.

Pun demikian, reformasi bergulir, budaya korup pejabat pemerintahan masih juga menjadi warisan yang sulit dihilangkan. Berapa banyak pelaku korupsi yang masuk penjara, namun kian menyuburkan praktek penjarahan harta negara. Pemerintahan SBY-JK sampai SBY-Budiono, yang disebut masa pemberantasan korupsi, masih juga tumpul, tak mempan memberangus tindak pidana korupsi. Instruksi presiden nomor 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi hanya menjadi slogan. Karena kenyataannya, korupsi kian meluas. Semakin gencar memberantas korupsi, semakin besar pula perlawanan koruptor.

Tak heran mantan ketua MPR RI periode 2004-2009, Hidayat Nurwahid mengandaikan korupsi bagaikan bentuk tindakan terorisme atau tak lebih dari perbuatan terorisme yang menghancurkan peradaban dunia. Karena korupsi kian menjamur sampai tingkatan daerah, merajalela dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan sangat meresahkan hajat hidup orang banyak untuk jangka waktu yang panjang.

Pendapat senada diungkapkan oleh guru besar UIN Sunan Kalijaga, Khumaidi Syarif Romas dalam acara halal bihalal HMI Cabang Yogyakarta di Aula Balai Kota Yogya, (3/10/2010) “Teroris, secara sosiologis adalah semua orang yang membunuh dengan kekerasan. Demikian dengan koruptor, ia telah membuat jutaan rakyat menderita dengan cara yang halus. Jadi, teroris masih lebih rendah derajatnya dibanding koruptor,”.

Ancama korupsi juga diwanti-wanti oleh NU dan Muhammadiyah. Kedua ormas Islam terbesar di indonesia itu bahkan menyamakan koruptor dengan kafir. (Telaah Fiqh Korupsi Dalam Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama, “Koruptor itu Kafir”, Mizan, 2010). Dalam buku tersebut dijelaskan, kedua ormas yang dikenal tradisionalis dan modernis itu sepakat untuk memerangi koruptor.  

Ada 2 dalil yang menguatkan buku tersebut. Pertama, "Allah melaknat orang yang melakukan suap (risywah) dan menerima suap" (HR Ibn Majah). Orang yang korupsi dikatakan kafir karena telah menuhankan uang daripada Allah. Dan perbuatan tersebut dibilang musyrik yang dilaknat Allah. Kedua, “Tidaklah seorang mencuri bila mana ia beriman”. Korupsi merupakan salah satu pencurian. Para pelaku korupsi dianggap tidak beriman kepada Allah dan hari kiamat. Maka, koruptor dianggap kafir karena tidak mengindahkan lagi perintah Tuhan dan Rosulnya.

Dari kedua dalil diatas jelas bahwa perbuatan korupsi sekecil apapun tidak ada toleransi, karena sangat merugikan orang banyak. Oleh karenanya, dibutuhkan pengawasan khusus yang tidak bisa hanya dilakukan oleh satu institusi saja, melainkan semua bangsa harus mengawalnya. Sebut saja kasus yang sedang heboh saat ini, kasus skandal Century dan Mafia Pajak Gayus HP Tambunan.

Sebagian besar masyarakat sepakat bahwa kedua kasus tersebut telah merugikan negara sampai nominal trilyunan. Namun begitu sulit untuk diselesaikan. Alih-alih memberantas, malah tarik ulur kepentingan. Bahkan bukan hanya korupsi, melainkan berhadapan dengan mafia hukum, yang dilakukan oleh institusi penegak hukum. Maka, permasalahan hukum di era redormasi ini kian rumit dan kompleks. Kekuatan kekuasaan, uang dan intelektual penuntut maupun yang dituntut masih mendominasi dalam proses peradilan hukum di negara kita.

Darwin Purba dalam bukunya, Quo Vadis Reformasi, Suatu analisa kritis, (2005) memberikan usulan hukuman mati bagi para koruptor. penerapan hukuman mati kepada para koruptor, lanjut Darwin, itu berdasarkan undang-undang nomor 31/1999 pasal 2 ayat 2, dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Sedangkan keadaan tertentu tersebut dijelaskan, jika negara dalam keadaan darurat.
Darwin menilai, negara indonesia saat ini sedang dilanda kersis, tidak saja dilanda krisis ekonomi dan moneter, tetapi hampir disemua bidang akibat wabah korupsi yang sangat dahsyat. Jadi, krisis tersebut dibilang sebagai darurat negara.

Kegeraman Darwin- mungkin juga dirasakan oleh sebagian besar bangsa- melihat karut marut penegakan hukum di negeri ini. Dalam hal penanganan kasus korupsi seringkali berbenturan kepentingan antar institusi penegak hukum. sehingga penyelidikan dan penyidikan korupsi dan mafia hukum menjadi kabur. Alhasil, ruang gerak koruptor semakin luas.

Menghadapi tuntutan kuat dari masyarakat yang menginginkan adanya terobosan baru yang lebih strategis untuk memberantas korupsi sempat diarahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, institusi superbody itu terkadang lemah jika dihadapkan pada koruptor kelas kakap, tak berkutik jika berhadapan dengan penguasa, tak bernyali jika dihadapkan dengan miliarder. Maka DIBUTUHKAN peran semua pihak, baik pemerintah, penegak hukum, DPR, Ormas, LSM, serta tokoh masyarakat untuk menyerukan jihad melawan korupsi. Menjadikan korupsi sebagai musuh bersama (common enemy).

Jihad- dalam doktrin Islam- berkedudukan sentral. Jihad adalah upaya memobilisasi sumber daya, interpretasi dan pengembangan jihad akan mengikuti perubahan situasi dan sasaran perjuangan, (Dawam Raharjo, 2002). Saat ini bangsa indonesia sedang dilanda penyakit korupsi yang akut. Sangat relavan jika konsep jihad sebagai upaya mencurahkan sumber daya untuk memerangi korupsi. Semoga! 






Artikel ini sudah dimuat di Buletin Mingguan "Masjid Jendral Sudirman", edisi 10 Desember 2010,
 
 





2 comments:

Teriakasih telah berkunjung