Friday, November 5, 2010

Detik-detik menjelang sakaratulmaut

Rabu Sore (3/11/2010) kemarin pintu kost ku diketuk. setelah dibuka ternya anak bapa kost ku terengah-engah minta tolong. Ia meminta aku untuk melihat bapaknya yang saki.

Aku pun langsung mengiyakan dan menuju orang yang sakit itu. Samapi di kamar yang tak jauh dari kamarku itu, ku lihat Mbah Markiyo sedang di kerubuti anak-anak dan tetangganya. yang lebih mendebarkan lagi, anak-anaknya pada nangis. Aku semakin heran.

"Mas Ujang, tolong liatin bapaqu ya!" Pinta Pinta Widodo yang tadi menjemputku di kost.

Setelah ku dekati Mbah Markiyo, alangkah terkejutnya melihat bapa kost ku itu napasnya sudah tersendat-sendat, mukanya pucat, penuh keringat seolah-olah ada sesuatu yang terjadi.


Aku bingung sekaligus nervous menghadapi orang seperti ini. tanpa pikir panjang, aku langsung membacakan talkin ((bacaan La ila ha illallah) dan istighfar di samping telinganya.

Dadaku semakin sesak ketika melihat Mbah Markiyo seolah nafasnya sudah diujung teanggorokan. Aku mundur dan mencoba mencari bantuan temanku. namun ia juga tak berani dan menyuruhku untuk meneruskan membaca talkin.

Setelah ku bacakan talkin bersama tetangga Bu RT, yang lupa namanya, nafas Mbah Markiyo semain tak teratur, semakin pelan dan akhirnya sampai berhenti bernafas.

Sumpah... Aku tak tahu apakah ia istirahat tidur istirahat atau ia tidur untuk selamanya (meninggal dunia), karena aku belum pernah menyaksikan langsung detik-detik orang yang mau meninggal. Ku pandang Bu RT, ia hanya diam.

Ku pegang nadinya sudah tak berdenyut, ku sentuh hidungnya juga tidak ada angin sedikitpun yang keluar, ku perhatikan semua anggota tubuhnya sudah tak ada gerakan sama sekali. Aku tak berani memberikan pernyataan bahwa Mbah Markiyo sudah mati.

Ku keluar kamar dan berbisik pada Menantunya, Daryono. "Nadinya sudah berhenti. ia sudah tidak ada," bisikku. Dengan perasaan tak percaya Daryono bergegas masuk kedalam dan menggoyang-goyang tubuh Mertuanya itu, lalu memberitahu istrinya bahwa bapaknya sudah tidak ada.

Tangisan semua orang yang ada disekelilingnya pun pecah. Air mata kesedihan tumpah tak mampu lagi dibendung menyaksikan kepergian Mbah Markiyo di sebuah kamar yang kira-kira berukuran 3x3 Cm itu.

Sekitar pukul 17.15 WIB Mbah Markiyo (77) warga Jl.Legi No 10 Papringan, Depok, Caturtunggal Sleman Jogjakarta itu menghembuskan nafas terakhir. Dalam suasana hujan aku bersama menantu almarhum memberitakan kabar duka itu kepada tetangga sekitar.

Mbah Markiyo Tamatan Sekolah Rakyat (SR) kemudian dilanjutkan ke PGA (Pendidikan Guru Agama) itu juga sempat mengajar SD. Dalam pandangan ku ia oang yang tegar, penuh perhitugan dan kuat ingatan dalam hidupnya. Walau umurnya sudah tua Almarhum tidak pernah lupa dengan semua anak kost. termasuk masalah pembayaran kost, kekurangan atau kelebihan berapa pun ia selalu perhitungkan.

Dua hari sebelum ia meninggal, aku sempat membaca surat dari almarum yang meminta aku untuk menemuinya. aku langsung ingatbelum bayar listrik. Memang kebiasaan Mbah bapak kostku kalo nagih uang kost selalu menggunakan surat, kadang-kadang nulis pengumuman di depan kost.

pandangan beliau (Mbah Markiyo) pun masih tetap awas. buktinya aku sering liat ia membaca koran. tak pelak, setiap aku pulang ke kost selalu membawa koran dan memberikannya pada beliau.

Ia memang selalu Up date berita. selain koran, Radio jadulnya itu menjadi teman setia setiap saat untuk mendengarkan kabar berita. Acara Mecopatan yang menjadi kesukaannya selalu menghiasi ditengah kegelapan malam.

1 comment:

  1. terkenang denga surat tagihan yang terakir, semoga khusnulqotimah, amin.

    ReplyDelete

Teriakasih telah berkunjung