Monday, September 27, 2010

Pemimpin Adalah Pelayan Rakyat

Suatu hari khalifah kedua, Umar bin Khattab berjalan-jalan (bergrilya) hingga sampai di di suatu desa yang terplosok untuk melihat kondisi umat islam. Tiba-tiba Ia mendengar jeritan anak kecil di balik rumah, yang terlihat kumuh. Umar lalu bertalak kerumah tersebut dan menanyakan penyebab anak menangis pada ibunya. Sang ibu dari anak tersebut menjawab sambil meneteskan air matanya, seraya berkata bahwa “kami belum makan dan sedang menunggu makanan yang sedang dimasak di dapur”.
Umar tidak lantas pergi, melainkan ikut menunggu sambil mendiamkan anak yang menangis. Setelah dirasa cukup lama makanan tersebut tak kunjung matang. Khalifah kedua itu langsung melihat ke dapur dan ternyata isi masakan tersebut adalah batu. betapa terpukulnya hati Umar, serta merasa bahwa dirinya telah berbuat dzolim, karena selama pemerintahannya masih banyak rakyat miskin yang tak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Alih-alih untuk membeli pakaian, untuk makan saja tak mampu.

Umar langsung bergegas menuju istana dan mengambil satu karung gandum dan di pikulnya sendiri untuk diberikan pada keluarga tadi.

Apa yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab tadi merupakan contoh dan tauladan yang patut ditiru oleh semua pemimpin. Pempin sejatinya tidak memposisikan diri sebagai raja, yang segala sesuatunya harus dilayani. Bahkan untuk untuk ditemui saja terkadang kesulitan, karena harus melalui beberapa pengawal atau ajudan. Padahal jika merujuk pada masa Rosulullah dan Khulafaurrasyidun, betapa sukarnya untuk menentukan pemimpin (khalifah) karena konsekuensi dan status yang harus dipikul oleh seorang pemimpin, seingga hanya orang-orang yang benar-benar serta memenuhi semua standar kualifikas, yang didukung untuk menjadi pemimpin umat.

Namun bila melihat kondisi saat ini sangat bertolak belakang. Seorang pemimpin menjadi rebutan semua orang. Karena statusnya yang menjanjikan berbagai kenikmatan, sanjungan dan pujian setiap orang. Tak heran, orang mau bersusah, rela berkorban segalanya demi mendapatkan posisi pemimpin. Padahal pemimpin seyogyanya melayani rakyatnya. Sebagaimana Rosulullah Saw bersabda “pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi mereka (umat yang dipimpin)”. (HR. Abu Na`im). Tentu, sebagai pelayan tidak lepas dari tuannya. Kapan pun sang tuan membutuhkan pelayan. Maka, pelayan harus sigap untuk melayani.

Pemimpin yang baik senantiasa mengayomi dan mendengarkan segala keluh kesah umatnya dalam keadaan apapun. Seperti yang telah dicontohkan oleh Umar bin Khattab. Selain dari kesuksesannya dalam memimpin umat selama 10 tahun (634-644), Ia juga merupakan sahabat Rosulullah yang senantiasa ta`at pada Allah kepada Rosulnya. Segala keputusan apapun selalu berlandaskan pada kitabullah dan sunnatirosulillad.

Hal tersebut bias dipahai karena pemimpin masyarakat bukan hanya bertanggung jawab pada masyarakat yang dipimpinnya (tanggungjawab horizontal), melainkan, meminjam istilahnya Waryono Abdul Gaffar, juga memiliki tanggungjawab vertikal. Yaitu, pertanggung jawaban pada Tuhan yang maha esa. Maka, dengan sendirinya, pemimpin harus menunaikan amanah atas apa yang menjadi diembannya. Karena kepemimpinan bukan hanya kontrak sosial antara pemimpin dan umatnya (yang dipimpin). Tapi juga kontrak antara Ia (pemimpin) dan Tuhannya.

Untuk itu dalam momentum menjelang pemilihan presiden, 8 juli mendatang, patut kita repleksikan bersama sebelum kita memutuskan untuk menentukan pilihan. Sejauhmanakah perjalanan para pemimpin kita saat ini? Sudahkah sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Rosulullah?. Atau paling tidak, adakah Umar-Umar baru diantara para calon pemimpin kita yang senantiasa cinta pada umatnya, bukan hanya pada momentum kampanye saja, melainkan dengan hati yang tulus untuk membangun umat kearah yang lebih baik. Tentunya yang siap melayani.

Artikel ini sudah dimuat di Buletin Mingguan "Masjid Jendral Sudirman", edisi Juli 2009

No comments:

Post a Comment

Teriakasih telah berkunjung