Thursday, November 18, 2010

KE'ARIFAN DALAM MEMAKNAI MUSIBAH

      “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ismail menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". 103.  Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). 104.  Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim 105.  Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 106.  Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.107.  Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (ash-Shaaffaat: 102-107)
      Dengan latar itu, di dalam Islam kemudian disyariatkan penyembelihan hewan kurban. Bagaimana kita mesti memaknai peristiwa simbolis keberagamaan ini? Apa relevansinya dengan musibah yang baru menimpa Yogyakarta dan bangsa kita pada umumnya?

      Peristiwa ini, jika dimaknai secara mendalam akan muncul pemahaman bahwa di samping sebagai simbul ketaatan yang total dari nabi Ibrahim dan Ismail alihimas salam, juga dapat dimaknai bahwa Allah swt tampaknya tidak betul-betul bermaksud mengakhiri hidup Isma'il. Itu hanya dijadikan Tuhan sebagai medium fit and proper test atas klaim keberimanan Ibrahim dan putranya, Isma'il. Seberapa jauh mereka, misalnya, tunduk dan patuh hanya kepada-Nya, bukan kepada yang lain.
      Mungkin muncul pertanyaan apa relevansi peristiwa Ibrahim dan Ismail alaihimassaalam  dengan musibah yang sedang mendera bangsa Indonesia dan Yogyakarta pada khususnya? Nabi Ibrahim dan nabi Ismail alaihimassalam sama seperti kita warga yogya pada khususnya, sama-sama mendapatkan musibah. Hanya tinggal bagaimana kita mensikapi musibah ini. Kata musibah berasal dari bahasa Arab (ashooba yushiibu) sesuatu yang menimpa berupa kebaikan ataupun keburukan, sebagaimana firman Allah swt:
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (an-Nisa: 79)
 Namun pada pemakaian secara umum kata musibah sering diartikan malapetaka. Bagaimana kita memaknai musibah Merapi yang sedang mendera kita. Allah swt berfirman:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syuraa: 30). Baca juga surat  (al-Isra: 16)
      Kedua ayat ini menunjukkan bahwa musibah atau malapetaka yang menimpa manusia erat kaitannya dengan perilaku manusia itu sendiri, perilaku yang sudah mengabaikan perintah Allah itu sendiri, baik perintah yang bersifat vertikal yaitu untuk hanya mengesakan Allah, untuk hanya beribadah kepadanya, maupun perintah yang bersifat horizontal seperti melaksanakan amanah, mempunyai rasa kepekaan sosial dan sebagainya.
      Selanjutnya musibah itu pun terjadi karena keengganan manusia untuk memperhatikan sunnatullah yang dalam beberapa ayat  bahwa sunnatullah itu tidak akan ada perubahan (al-Faather: 43). Sunnah artinya kebiasaan atau kejadian yang terjadi berulang-ulang atau yang biasa dikenal dengan hukum alam dan dapat dibuktikan kebenarannya oleh ilmu pengetahuan, seperti api dapat membakar, air bah dapat menghanyutkan dan sebagainya.
      Peristiwa erupsi Merapi, sebetulnya sudah didahului oleh tanda-tanda dan tanda-tanda itu sudah diketahui dan sudah disosialisasikan sebelumnya, tetapi banyak diantara saudara-saudara kita (dengan berbagai alasan) mengabaikan tanda-tanda atau isyarat tersebut, akhirnya terjadilah malapetaka yang merenggut nyawa yang cukup banyak ini yang mudah-mudahan mendapat magfirah Allah swt. Dan itulah antara lain pemahaman firman Allah bimaa kasabat aidinnaas (malapetaka yang diakibatkan ulah manusia).
          Kalau kita perhatikan bangsa Jepang, misalnya, di negara tersebut sering terjadi gempa, karena hal ini merupakan fenomena alam, mereka menyadari dan memperhatikan hukum alam, maka korban dan kerugian pun dapat diminimalisir. Untuk itu saya menyeru kepda kaum muslimin wal muslimat agar mengambil pelajaran dari peristiwa yang sedang berlalu ini, mewaspadai dan memperhatikan peristiwa-peristiwa alam ini dengan mentaati himbauan pemerintah dan institusi yang berwenang, bukan sms sms yang tidak bertanggung-jawab. Dan kepada pemerintah saya menghimbau agar melakukan antisipasi lebih dini, jika tanda-tanda atau isyarat-isyarat alam telah muncul yang dapat dibuktikan kebenarannya oleh ilmu pengetahuan, agar bertindak lebih proaktif dengan memindah penduduk dan ternaknya, bilamana perlu secara paksa, serta memberikan rasa aman sehingga korban dapat diminimalisir.
Kita semua sekarang sedang diuji Allah swt dengan peristiwa Merapi ini, ada yang ditimpa rasa ketakutan atau traumatik, ada yang  kelaparan, ada yang kehilangan harta dan keluarganya, dan ada yang kehilangan ladang pertaniannya, (baca surat al-Baqarah: 155-157). Dalam situasi seperti ini Allah swt telah memberi terapinya, yaitu dengan konsep sabar. Dalam ayat di atas kata sabar didefinisikan dengan keyakinan bahwa harta, jiwa, dan apa saja yang sering didaku sebagai milik kita sesungguhnya adalah milik Allah swt semata, kita hanya diberi hak mengelola, dan jika pemiliknya (Allah) berkehendak untuk mengambilnya atau memperlakukan sesuai dengan iradah-Nya, maka kita sebagai pengelola harus mengikhlaskannya dengan sepenuh hati. Jika kita bisa mengendalikan diri kita seperti itu maka rasa takut, traumatik, rasa kehilangan akan lenyap dengan sendirinya, setelah itu, sesuai janji Allah dalam ayat berikutnya bahwa mereka itu akan diberikan barakah dan kasih-sayang-Nya, bisa berupa tanah yang subur, persediaan pasir dan batu yang melimpah serta manifestasi kasih sayang Allah yang lainnya.
      Dalam kesempatan ini perlu disampaikan pula sabda Rasulullah saw: “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka didahului baginya hukuman didunia (berupa musibah dan kesusahan agar terhapus dosa-dosanya) dan apabila Dia menghendaki keburukan pada hamba-Nya, maka Dia akan menahan darinya (membiarkannya) dengan dosa-dosanya sehingga dosa-dosanya dibalas pada hari kiamat.” (HR at-Turmudzi).
      Dengan demikian musibah dapat difahami pertama, sebagai hukuman Allah atas pembangkangan yang dilakukan manusia pada aturan yang telah ditetapkan-Nya (hukum sebab akibat); kedua, sebagai penghapusan dosa sehingga dengan demikian di akhirat nanti tidak ada dosa yang diperhitungkan lagi karena hukumannya sudah ditunaikan Allah di dunia (sebagai penebus dosa).Ketiga, sebagai ujian untuk kenaikan derajat di mata Allah.
'Idul Adhha lazim dikenal dengan nama 'Idul Qurban (Hari Raya Kurban) yang intinya disamping pelaksanaan shalat dan khutbah id juga disyari'atkan penyembelihan hewan kurban. Penyembelihan hewan kurban secara simbolis menegaskan bahwa etos pengurbanan umat Islam perlu ditumbuhkembangkan secara terus-menerus. Sebab, ada petunjuk yang sangat kuat bahwa seiring dengan grafik materialisme  yang menaik, semangat masyarakat untuk berkurban kian menurun. Saudara kita, tetangga kita, atau ada di antara kita masih bernasib malang, hidup di pengungsian. Musibah Merapi yang sedang berlalu masih menyisakan berbagai kepedihan, kiranya dapat mengetuk hati kita untuk senantiasa dapat berkurban dan meningkatkan empati kemanusiaan.
      'Idul Adhha mengandung konotasi pemaknaan dimensi sosial. Pemaknaan ini tergambar dari komponen pembagian hasil penyembelihan hewan kurban kepada fakir miskin. Di sini, ditujukan untuk menimbulkan nuansa egaliter dalam masyarakat. Sayangnya, pesan ini tidak banyak dipikirkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Padahal, seperti halnya daging kurban, kebaikan adalah sesuatu yang dapat ditularkan. Kebanyakan kaum muslimin hanya terpaku pada pemberdayaan keimanan diri sendiri. Menjadi orang yang paling baik dari pada orang lain, mungkin menjadi prioritasnya. Tetapi ingat, sebaik-baik manusia adalah manusia yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat dan kepedulian kepada sesama menjadi kata kuncinya.
      Di akhir khutbah ini, saya ingin menegaskan tiga hal. Pertama, semangat ketauhidan atau pengesaan Allah swt harus direalisasikan dalam berbagai keadaan. Kedua, musibah Merapi yang sedang menimpa kita sebaiknya kita maknai sebagai ujian dan harus diterima dengan kesabaran dengan mengembalikan segala sesuatu kepada Allah swt. Ketiga, 'Idul Adhha dapat diletakkan dalam kerangka penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti penekanan solidaritas dan kesatuan kemanusiaan, karena agama memang diperuntukkan bagi manusia dan untuk memperbaiki tatanan sosial kemanusiaan, tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan ketuhanan itu sendiri.
      Kaum muslimin wal muslimat, 'Idul Adhha adalah momentum untuk menumbuhsuburkan rasa kasih sayang di antara sesama. 'Idul Adhha harus kita manfaatkan sebagai momentum menyambungkan tali silaturahmi, melatih kepekaan, empati, dan mengikis kebencian di hati. Marilah perilaku ini kita praktikan dalam kehidupan sehari-hari,

Disampaikan oleh Dekan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof.Dr.Syihabudin Qolyubi pada Sholat Idul Adha di Masjid Agung Sleman, Rabu (17/11/2010)



No comments:

Post a Comment

Teriakasih telah berkunjung