Kamis
(7 November) lalu, seusai liputan pelatihan penanggulangan penyelundupan
manusia di Hotel Queen, Desa Girijati, Kecamatan Purwosari, Gunungkidul, tak
sengaja melihat plang petilasan Jaka Tarub. Iseng campur penasaran, saya
mencoba menghampiri. Tak dinyana lokasinya lumayan jauh, sepanjang jalan masih
bebatuan. Namun, karena rasa penasaran yang kuat akhirnya sampai juga.
Di bawah
pohon beringin besar terdapat telaga-yang menurut warga sekitar-airnya tidak
pernah surut walau musim kemarau. Telaga tersebut hanya berukuran sekitar 3x4
meter, dengan kedalaman air tidak sampai betis orang dewasa. Hanya saja, mata
air yang mengalir di sela-sela bat uterus mengalir.
Di sekitar
telaga banyak orang yang sedang melakukan ritual. Tampak sekali wajah-wajah
penuh harapan ditengah doa-doa yang dipanjatkan. Sebagian lainnya menunjukan wajah
sumringah karena merasa sudah mendapat cahaya (petunjuk). Sejurus kemudian
orang yang sudah menemukanc ahaya itu menyembelih kambing (sebagai nazar) yang
mereka ucapkan sebelum berdoa.
Di
antara mereka ada yang sudah berhari-hari ritual, ada yang tiga hari, seminggu,
bahkan ada yang sudah 40 hari berada di sekitar telaga. Mereka melakukan puasa,
sampai puasa pati geni alias tidak makan dan tidak minum berhari-hari.
Bukan
saja orang biasa, tidak hanya masyarakat jawa yang melakukan ritual di telaga. Namun,
dari berbagai kalangan mulai dari artis, pengusaha, calon legislator bahkan
raja yang tengah konflik di kalangan keluarganya pun ritual disitu. Menurut Juru
Kunci Eko Siswoyo, nama telaga tersebut adalah Telaga Nawang Wulan. Eko tidak
tahu sejak kapan persisnya telaga tersebut ramai dikunjungi banyak orang.
Menurut
Eko, dari cerita turun temurun, Telaga Nawang Wulan merupakan tempat pemandian
para putrid dari kahyangan. Kala itu, ada 7 bidadari yang sedang mandi di
telaga. Percakapan bidadari terdengar oleh Jaka Tarub yang sedang berburu. Iseng-iseng,
Jaka Tarub mengintip bidadari mandi, kemudian mengambil selendang salah satu
milik bidadari.
Karena
hari mulai senja, bidadari pun bersiap naik ke kahyangan. Namun salah satu dari
bidadari yaitu Nawang Wulan, tidak bisa naik karena hilang selendangnya. Tiba-tiba
dating Jaka Tarub dan member pertolongan kemudian mengajaknya ke rumah jaka
Taruh hingga akhirnya mereka menikah dan dikaruniai seorang putrid bernama
Nawangsih.
Selama
berumah tangga Jaka Tarub merasa heran karena beras yang ada di lumbung
rumahnya tidak pernah habis, padahal dia jarang memaba beras. Jaka Tarub pun
penasaran dan menanyakan kepada Istrinya namun tidak memperoleh jawaban. Nawang
Wulan hanya berpesan agar tidak membuka kendi yang menjadi lumbung padi.
Karena
penasaran Jaka Tarub membuka lumbung tersebut sehingga kekuatan Nawang Wulan
pun hilang. Mereka kembali menjadi keluarga pada umumnya. Bekerja dan memasak
nasi seperti orang biasa.
Nawang
Wulan menemukan selendangnya dibalik lumbung padi. Selendang kekuatan yang
dicari-cari selama ini baru diketahui bahwa suaminya yang telah mencuri. Nawang
Wulan pun pamit pergi ke kahyangan. Meski Jaka Taub memohon tetap tinggal,
namun Nawang WUlan tetap pergi. Dia hanya berpesan kepada suaminya agar menjaga
anaknya dan membawanya ke telaga, suatu saat dia akan turun dan menyusui
Nawangsih di telaga tersebut.
“Ini
cerita yang saya ketahui dari dulu. Bisa dipercaya bisa tidak. Namun bagi orang
yang yakin berdoa di telaga Nawang Wulan ini keinginannya terkabul,” kata Eko.
Eko sendiri baru sekitar 8 tahun menjadi juru kuncu. Dia menggantikan juru
kunci sebelumnya Tugiran yang memiliki kesibukan lain di Jakarta.
Sepintas,
telaga mata air dan pohon bering besar itu biasa saja. Namun, bagi sebagian
masyarakat jawa ritual di tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah dan berbau
magis masih menjadai tradisi. Seolah ada dorongan magis yang kuat yang membuat
mereka bisa fokus dalam berdoa. Penyatuan jasad manusia dengan alam, tidak lepas
dari sosiokultural masyarakat jawa yang identik dengan masyarakat agraris. (ah
terlalu melebar jika harus membahas kesitu..)
Yang
jelas, situs Telaga Nawang Wulan saat ini menjadi terawat dengan banyaknya
orang yang berdatangan. Perekonomian masyarakat setempat menjadi hidup, banyak
yang berjualan makanan, menyewakan tempat peristirahatan, peternak diuntungkan
karena banyak yang nazar menyembelih ternak jika hajatnya terkabul. “Hampir
setiap hari ada yang pesan sapi dan kambing. Yang punya nazar biasanya langsung
memotong disini, dagingnya dibagi-bagikan kepada masyarakat dan tamu yang datang,”
kata Yanti, salah satu warga sekitar Telaga Nawang Wulan.
Bahkan
saking ramainya dikunjungi, pemerintah kini sudah mengalokasikan dana untuk
perbaikan jalan menuju Telaga Nawang Wulan.
No comments:
Post a Comment
Teriakasih telah berkunjung